Thursday, 16 March 2017

KETIKA NU TIDAK LAGI "SEGARIS", KEMANA NAHDIYIN "BERLABUH"?



Sekitar 100 kiai muda Nahdlatul Ulama (NU) melalui forum bahtsul masail atau forum diskusi keagamaan memutuskan bahwa seorang Muslim diperbolehkan memilih pemimpin non-Muslim.

"Terpilihnya non-Muslim di dalam kontestasi politik berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-Muslim terpilih sebagai kepala daerah," kata KH Najib Bukhori saat menyampaikan hasil bahtsul masail di Kantor Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Jakarta, Minggu (12/3/2017).

Dengan demikian, lanjut Najib, keterpilihannya untuk mengemban amanah kenegaraan adalah juga sah dan mengikat, baik secara konstitusi maupun secara agama. 

Sejak Sabtu (11/3/2017) hingga Minggu, kiai muda dari berbagai pondok pesantren se-Indonesia itu membahas persoalan kepemimpinan di dalam forum Bahtsul Masail Kiai Muda yang digelar PP GP Ansor dengan tema "Kepemimpinan Non-Muslim di Indonesia". 

Mereka berpendapat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berdasarkan konstitusi negara, setiap warga negara boleh memilih pemimpin tanpa melihat latar belakang agama yang dianutnya.

"Seorang warga negara, dalam ranah pribadi, dapat memilih atau tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin formal pemerintahan," kata Najib

Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas mengatakan hasil bahtsul masail itu akan disosialisasikan ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Ia juga menimbau umat Islam di Indonesia untuk meredakan ketegangan pada setiap kontestasi politik karena hal tersebut dapat berpotensi memecah belah umat Islam, sebagaimana terjadi di Jakarta.

Apalagi, kecenderungan intoleransi sesama umat Islam semakin kasat mata dan tergambar dengan adanya spanduk di sejumlah masjid yang tidak menerima pengurusan keagamaan jenazah Muslim bagi pemilih dan pendukung pemimpin non-Muslim, kata Yaqut.

"Akibat kontestasi politik di Jakarta yang makin tidak terkontrol dan cenderung ganas, bukan tidak mungkin dapat menyebar di daerah lain," katanya.

KH Abdul Ghofur Maemun Zubair sebagai perumus bahtsul masail menambahkan, pandangan sebagian kelompok untuk tidak menyalatkan jenazah lawan politik justru merupakan cerminan sikap yang tidak sesuai dengan ajaran Islam maupun nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia.

TANGGAPAN TEGAS Rais Aam PBNU

Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin menegaskan bahwa keputusan tertinggi organisasi ada di hasil Muktamar.

Hal itu ia sampaikan berkaitan dengan adanya keputusan Bahtsul Masail Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang menyatakan bahwa boleh memilih pemimpin non-Muslim karena dibolehkan dalam konstitusi dan selagi memberikan maslahat.

"Nahdlatul Ulama memiliki aturan yang harus diikuti sesuai keputusan muktamar. Dalam muktamar sudah jelas dilarang memilih pemimpin non muslim dan harus diikuti oleh seluruh warga nahdiyin," kata KH Ma'ruf Amin saat ditemui di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Jakarta, Selasa (14/03).

Kiai Ma’ruf menjelaskan, dalam Muktamar NU di PP Lirboyo, Kediritahun 1999, diputuskan bahwa tidak boleh memilih atau memberikan kuasa pemimpin kepada non-Muslim, kecuali dalam keadaan darurat.

“Keputusan Bahtsul Masail tidak boleh bertentangan dengan muktamar,” jelasnya.

Ulama panutan yang juga Ketua Umum MUI ini mengungkapkan, keputusan muktamar hanya bisa dirubah dengan muktamar lagi.

Sebelumnya, Ketua GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas merilis hasil Halaqah Bahtsul Masail Kiai Muda GP Ansor tentang kepemimpinan non-Muslim. Dalam keputusan di Jakarta itu, GP Ansor membolehkan umat Islam untuk memilih pemimpin non-Muslim.

Ada apa dengan Nahdatul Ulama?. Pendapat yang tidak"segaris" ini memunculkan kebingungan dikalangan nahdiyin. Pendapat mana yang harus diikutin. Pilkada DKI 2017 ini benar-benar menguji kekuatan Nahdatul Ulama sebagai organisasi terbesar Islam di Indonesia. 

Bagikan

Jangan lewatkan

KETIKA NU TIDAK LAGI "SEGARIS", KEMANA NAHDIYIN "BERLABUH"?
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.